
Lapak Warta – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia kembali menyoroti ancaman serius dari resistansi antimikroba (AMR) yang semakin meningkat. Kepala BPOM, Taruna Ikrar, dalam keterangannya pada Sabtu (30/11), menegaskan pentingnya peran seluruh pemangku kepentingan dalam mengatasi masalah ini untuk melindungi kesehatan masyarakat Indonesia. AMR adalah kondisi di mana mikroba seperti bakteri, virus, dan jamur menjadi kebal terhadap obat-obatan yang dirancang untuk membunuh atau mengendalikannya, seperti antibiotik, antifungi, dan antivirals.
Menurut data yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), resistansi antimikroba telah menjadi salah satu ancaman besar bagi kesehatan global. Pada tahun 2019, AMR dikaitkan dengan lebih dari 1,27 juta kematian di seluruh dunia, dan berkontribusi pada hampir 5 juta kematian secara langsung. Kejadian ini semakin memperburuk tantangan dalam mengendalikan penyakit infeksi yang biasa seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi saluran kemih, yang kini semakin sulit untuk diobati karena adanya resistansi terhadap antibiotik.
Taruna Ikrar juga mengungkapkan bahwa data pengawasan BPOM menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik tanpa resep dokter masih tinggi di Indonesia. Pada periode 2021 hingga 2023, BPOM mencatat bahwa sekitar 79,57 persen, 75,49 persen, dan 70,75 persen apotek di Indonesia menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter. Meskipun ada penurunan, angka tersebut tetap menunjukkan tren yang mengkhawatirkan karena masih banyak antibiotik yang digunakan secara sembarangan tanpa pengawasan medis yang memadai.
Penyebab utama dari munculnya resistansi antimikroba ini sangat kompleks. Penggunaan obat yang salah atau berlebihan, serta kontaminasi lingkungan, menjadi faktor utama. Selain itu, penyebaran mikroba resistan di fasilitas kesehatan, kurangnya diagnostik cepat yang efektif, dan pengobatan sendiri (swamedikasi) yang tidak tepat juga berperan besar. Sisa obat yang tidak terpakai dan dibuang sembarangan juga berisiko menambah penyebaran resistansi antimikroba ini.
Sebagai bagian dari upaya pengendalian AMR, BPOM telah meluncurkan beberapa inisiatif, salah satunya adalah program Ayo Buang Sampah Obat dengan Benar (ABSO dengan Benar), yang dimulai pada tahun 2019. Program ini melibatkan 1.000 apotek di 15 provinsi di Indonesia untuk mengelola sampah obat, termasuk antibiotik yang tidak terpakai, dengan benar. Hasil pengawasan dari program ini menunjukkan bahwa antibiotik sering kali menjadi salah satu jenis obat yang dibuang secara sembarangan, yang tentu saja berdampak pada penyebaran AMR.
Pengendalian AMR tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga pada sektor ekonomi. Infeksi yang lebih lama dan lebih sulit diobati meningkatkan biaya perawatan kesehatan, termasuk biaya rumah sakit dan perawatan intensif. Selain itu, meningkatnya angka kecacatan dan kematian akibat AMR mengarah pada penurunan produktivitas kerja di masyarakat.
Sebagai bagian dari upaya pemerintah, BPOM bersama dengan para pemangku kepentingan lainnya terus memperkuat komitmen dalam pengendalian AMR. Dalam rangka menyukseskan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistansi Antimikroba (RANPRA) 2020-2024 dan penyusunan Rencana Aksi Nasional tahun 2025-2029, BPOM juga menggalang komitmen dengan mengajak berbagai pihak untuk berperan aktif dalam upaya ini. Salah satu langkah simbolis yang diambil adalah pengucapan Ikrar Komitmen Pengendalian Antimikroba yang tercatat sebagai Ikrar Terbanyak di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Taruna Ikrar berharap, ikrar ini bukan hanya sekadar janji, tetapi menjadi langkah nyata untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen bersama dalam mengendalikan AMR secara berkelanjutan. “Kami berharap ini dapat menjadi pemacu bagi kita semua untuk lebih berperan aktif dalam pengendalian AMR,” ujar Taruna.