
Lapak Warta – Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, memberikan pandangannya mengenai potensi dampak yang akan timbul dari terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Menurutnya, kebijakan “America First” yang diterapkan oleh Trump dapat membawa perubahan besar dalam perekonomian global dan lanskap geopolitik dunia. Kebijakan ini yang lebih mengutamakan kepentingan nasional AS ketimbang kepentingan global berpotensi memicu ketegangan baru, termasuk tarif tinggi, kemungkinan terjadinya perang dagang, serta gangguan pada rantai pasokan global.
Dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2024 yang diselenggarakan di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Perry memaparkan bahwa ketidakpastian yang muncul akibat kebijakan AS ini akan memengaruhi prospek ekonomi dunia pada tahun 2025 dan 2026. Salah satu faktor yang perlu diwaspadai adalah lambatnya pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi terjadi selama dua tahun mendatang.
Perry menyebutkan lima karakteristik yang akan menandai gejolak perekonomian dunia yang terjadi pasca pemilihan Trump. Pertama adalah “slower and divergent growth” yang berarti pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat, dengan AS mengalami pemulihan, namun negara-negara besar lainnya seperti Tiongkok dan Eropa akan mengalami penurunan ekonomi. Di sisi lain, India dan Indonesia diperkirakan akan tetap tumbuh dengan stabil.
Kedua, Perry menyoroti potensi penurunan inflasi dunia yang akan melambat akibat gangguan pada rantai pasokan dan adanya ketegangan dalam perdagangan global. Gangguan rantai pasokan dan perang dagang yang lebih intensif dapat menyebabkan inflasi kembali naik, memengaruhi stabilitas harga di berbagai negara.
Selain itu, Perry juga memperkirakan penurunan tingkat suku bunga atau Fed Funds Rate (FFR) di AS, yang akan berdampak pada lonjakan US Treasury hingga mencapai 4,7 persen pada 2025 dan 5 persen pada 2026. Hal ini disebabkan oleh defisit fiskal AS yang terus membengkak serta beban utang pemerintah yang meningkat pesat. Dampaknya, pasar keuangan global akan mengalami ketidakstabilan, yang pada gilirannya mempengaruhi ekonomi negara-negara lainnya.
Aspek berikutnya yang ditekankan oleh Perry adalah penguatan dolar AS. Dolar AS diperkirakan akan menguat dari angka 101 menjadi 107, yang akan memberikan tekanan pada nilai tukar mata uang negara-negara lainnya, termasuk rupiah. Kenaikan nilai tukar dolar ini berpotensi memicu depresiasi mata uang di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Lebih lanjut, Perry mengungkapkan fenomena pelarian modal dari pasar negara berkembang (emerging markets) menuju AS. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya suku bunga di AS serta penguatan dolar yang menarik minat investor global untuk berinvestasi di negara dengan suku bunga lebih tinggi. Kondisi ini menambah tekanan terhadap stabilitas ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang diperkirakan akan mengalami dampak dari gejolak ini.
Perry menegaskan bahwa gejolak global yang muncul akibat kebijakan Presiden Trump ini dapat berdampak buruk bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus siap menghadapinya dengan kebijakan yang tepat guna menjaga stabilitas perekonomian nasional. Respon kebijakan yang cepat dan efektif akan sangat penting untuk menghadapi ketidakpastian global yang semakin meningkat.
Kondisi ini menuntut adanya perhatian serius dari pemerintah Indonesia untuk memperkuat perekonomian domestik dan melindungi sektor-sektor yang rentan terhadap fluktuasi ekonomi global. Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan negara akan terus melakukan langkah-langkah strategis agar Indonesia dapat tetap bertahan dalam menghadapi gejolak yang dipicu oleh kebijakan internasional ini.